Di setiap jengkal tanah Kalimantan, tersimpan cerita rakyat yang sarat makna. Dari hutan rimba yang misterius hingga sungai panjang yang tak habis-habis, mitos dan legenda mengiringi kehidupan masyarakat Dayak yang tinggal di tepian alam. Salah satu legenda yang paling populer dan terus dikisahkan dari generasi ke generasi adalah legenda Bujang Beji.
Kisah ini tidak sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan cerita yang mengandung filosofi hidup, pesan moral, sekaligus cerminan hubungan manusia dengan alam. Menariknya, legenda Bujang Beji tidak hanya melekat pada Sungai Kapuas sebagai sungai terpanjang di Indonesia, tetapi juga dikaitkan dengan keberadaan Bukit Kelam, salah satu formasi batuan terbesar di dunia yang berdiri megah di Sintang, Kalimantan Barat.
Asal Usul Bujang Beji di Sungai Kapuas
Dikisahkan, Bujang Beji adalah seorang pemuda tampan yang hidup di tepian Sungai Kapuas. Ia memiliki wajah rupawan, tubuh gagah, dan kharisma yang mampu menarik perhatian banyak gadis. Namun, di balik ketampanan itu, tersembunyi sifat buruk: sombong, angkuh, dan suka mempermainkan hati.
Hidupnya berubah ketika ia jatuh cinta pada Dara Nini, seorang gadis jelita yang terkenal anggun dan baik hati. Sayangnya, cintanya ditolak. Dara Nini mengetahui sifat asli Bujang Beji yang gemar mempermainkan perempuan. Penolakan itu membuat harga diri sang pemuda runtuh. Sejak saat itu, amarah, dendam, dan rasa malu bercampur menjadi satu hingga melahirkan niat jahat.
Bujang Beji pun mengutuk sungai tempat Dara Nini sering mandi. Dari kutukan itu muncul buaya gaib yang diyakini sebagai jelmaan dirinya sendiri. Ia menjadi roh jahat yang menghuni Sungai Kapuas, menebar teror bagi siapa saja yang serakah atau tidak menghormati sungai.
Sungai Kapuas sebagai Panggung Legenda
Sungai Kapuas adalah urat nadi Kalimantan Barat. Dengan panjang mencapai 1.143 kilometer, sungai ini menjadi jalur transportasi, sumber pangan, hingga arena spiritual bagi masyarakat. Tidak mengherankan jika Sungai Kapuas dipenuhi mitos, salah satunya Bujang Beji.
Masyarakat percaya bahwa siapa saja yang berlebihan mengambil ikan dari sungai akan mendapat murka Bujang Beji. Buaya besar yang muncul di permukaan air dianggap bukan hewan biasa, melainkan perwujudan sang pemuda angkuh. Dari sinilah muncul aturan tidak tertulis: jangan serakah di sungai, jangan berkata sembarangan, dan jangan menertawakan buaya.
“Menurut saya, legenda ini adalah bentuk hukum adat yang terselubung. Ia lahir untuk mengajarkan bahwa sungai bukan milik pribadi, melainkan ruang bersama yang harus dijaga keseimbangannya.”
Pertarungan dengan Bujang Talu
Legenda Bujang Beji tidak berdiri sendiri. Dalam beberapa versi cerita, muncul sosok lain bernama Bujang Talu. Ia digambarkan sebagai pemuda baik hati, rendah diri, dan dermawan. Perseteruan antara Bujang Beji dan Bujang Talu terjadi karena perebutan hati Dara Nini.
Jika Bujang Beji mewakili keserakahan dan keangkuhan, maka Bujang Talu adalah simbol kejujuran dan kesabaran. Pertarungan mereka menjadi cermin pertarungan abadi antara kebaikan dan keburukan. Dalam beberapa kisah, Bujang Talu berhasil mengalahkan Bujang Beji, tetapi kutukan sang pemuda angkuh itu tetap hidup di Sungai Kapuas.
Hubungan Legenda Bujang Beji dengan Bukit Kelam
Selain dihubungkan dengan Sungai Kapuas, legenda Bujang Beji juga memiliki kaitan erat dengan Bukit Kelam, ikon alam raksasa yang berdiri di Kabupaten Sintang. Bukit Kelam adalah monolit batu tunggal setinggi lebih dari 900 meter, menjadikannya salah satu batu terbesar di dunia. Namun masyarakat Dayak tidak melihatnya hanya sebagai batu, melainkan sebagai bukti nyata dari legenda kuno.

Menurut cerita rakyat, Bujang Beji yang sakit hati berniat menutup aliran Sungai Kapuas agar Dara Nini dan masyarakat sekitar kehilangan sumber kehidupan. Ia memikul sebongkah batu raksasa untuk menutup sungai. Namun di tengah perjalanan, batu tersebut terjatuh karena kelalaian atau gangguan gaib, dan akhirnya menjadi Bukit Kelam yang kita lihat hari ini.
Kisah ini menempatkan Bujang Beji bukan hanya sebagai roh sungai, tetapi juga sosok yang meninggalkan jejak nyata di daratan Kalimantan. Bukit Kelam dengan segala kemegahannya menjadi monumen alam yang lahir dari kisah cinta, dendam, dan keserakahan.
“Ketika berdiri di kaki Bukit Kelam, saya merasakan aura magis seakan kisah Bujang Beji memang nyata. Batu itu terlalu besar untuk hanya disebut kebetulan geologi. Ada rasa takzim yang membuat kita ingin percaya bahwa legenda hidup berdampingan dengan sains.”
Bukit Kelam dalam Perspektif Budaya
Bagi masyarakat Sintang, Bukit Kelam bukan hanya tempat wisata, tetapi juga ruang sakral. Banyak ritual adat dilakukan di sekitarnya. Hubungan bukit dengan legenda Bujang Beji membuat tempat ini penuh dengan pantangan dan kisah mistis.

Konon, di beberapa bagian bukit terdapat gua yang diyakini sebagai tempat persinggahan makhluk halus. Ada pula cerita tentang suara-suara misterius yang terdengar pada malam hari. Semua ini memperkuat keyakinan masyarakat bahwa Bukit Kelam tidak bisa dipisahkan dari dunia gaib.
Legenda tentang Bujang Beji yang gagal menutup Kapuas dengan batu besar menjadi penjelasan mitologis tentang asal-usul bukit. Cerita ini diwariskan turun-temurun agar generasi muda memahami bahwa alam selalu punya kisah dan pelajaran.
Pesan Moral dalam Kisah Bujang Beji
Legenda ini sarat dengan nilai moral yang relevan hingga kini. Pertama, kisahnya mengajarkan bahwa keserakahan akan berujung petaka. Kedua, cinta yang didasari kesombongan hanya membawa kehancuran. Ketiga, manusia tidak boleh menentang alam, karena alam memiliki kekuatan yang jauh lebih besar.
Sungai Kapuas tetap mengalir deras, sementara Bukit Kelam berdiri kokoh sebagai pengingat. Dalam keseharian, masyarakat Dayak masih menjaga pantangan di sungai dan di bukit. Itu adalah bentuk penghormatan terhadap alam sekaligus warisan budaya yang terus hidup.
Perbandingan dengan Legenda Nusantara Lain
Kisah Bujang Beji memiliki kemiripan dengan legenda-legenda lain di Nusantara. Misalnya, legenda Tangkuban Perahu di Jawa Barat yang menceritakan tentang gunung yang tercipta karena murka Sangkuriang. Di Kalimantan, ada pula legenda Bukit Batu di Katingan yang juga dikaitkan dengan kisah manusia berubah wujud.
Kesamaan pola ini menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara memiliki cara yang sama dalam menjelaskan fenomena alam besar: melalui cerita rakyat yang dipenuhi unsur gaib dan moral. Bedanya, legenda Bujang Beji lebih menekankan pada sifat serakah manusia dan hubungannya dengan sungai sebagai sumber kehidupan.
Bujang Beji dalam Ingatan Kolektif
Hingga kini, legenda Bujang Beji tetap hidup. Ia diceritakan dalam festival budaya, dituliskan dalam buku lokal, hingga dijadikan cerita dalam pertunjukan seni tradisional. Bagi generasi muda, kisah ini mungkin terdengar sebagai dongeng. Namun bagi masyarakat adat, Bujang Beji adalah bagian dari identitas mereka.
Di Sungai Kapuas, masih ada nelayan yang percaya bahwa buaya besar adalah jelmaan Bujang Beji. Di Bukit Kelam, masyarakat tetap berhati-hati menjaga tutur kata agar tidak mengusik penghuni gaib. Legenda ini menjadi cara untuk mengikat manusia pada alam, menjaga keseimbangan, dan mengingatkan agar tidak bertindak berlebihan.
“Saya percaya, cerita rakyat seperti ini adalah bentuk kecerdasan leluhur. Mereka tidak punya buku ekologi, tetapi lewat mitos mereka berhasil menanamkan kesadaran ekologis yang jauh lebih kuat dibanding teori modern.”
Ekowisata dan Legenda
Kehadiran legenda Bujang Beji kini juga mendukung sektor pariwisata. Sungai Kapuas dan Bukit Kelam menjadi destinasi yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga kaya secara budaya. Wisatawan datang bukan sekadar untuk menikmati pemandangan, melainkan juga untuk mendengar cerita mistis yang membungkusnya.
Bukit Kelam sering menjadi lokasi pendakian dan festival budaya, sementara Sungai Kapuas dilalui perahu wisata yang menyuguhkan panorama alam sekaligus kisah lisan tentang Bujang Beji. Legenda menjadi daya tarik tambahan yang memperkuat citra Kalimantan Barat sebagai destinasi wisata berbasis alam dan budaya.
Kisah yang lahir dari dendam seorang pemuda
Legenda Bujang Beji adalah kisah yang melintasi waktu. Ia lahir dari dendam seorang pemuda, hidup di Sungai Kapuas, dan menjelma batu raksasa di Bukit Kelam. Lebih dari sekadar mitos, legenda ini adalah pesan abadi tentang hubungan manusia dengan alam: bahwa keserakahan hanya akan menimbulkan kehancuran, sementara kebijaksanaan lahir dari rasa hormat pada batas.