
Beberapa waklu lalu media marak memberitakan tentang penangkapan lima kendaraan yang dioperasikan oleh Uber Indonesia. Penangkapan itu dilakukan oleh Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta bersama dengan Dinas Perhubungan. Lima kendaraan tersebut kemudian diiring ke kantor Kepolisian Daerah Metro Jaya guna membuktikan apakah layanan mobil sewaan yang disediakan oleh Uber melanggar hukum atau tidak. Pada akhirnya kendaraan serta pengemudinya dibebaskan tanpa tuntutan apapun.
Tidak lama dari kejadian tersebut, Uber Indonesia melakukan klarifikasi melalui press release-nya.
“Uber is a technology company. We do not own, operate vehicles or employ drivers. Our platform simply connects a rider request to a partner from a licensed, for-hire chauffeur-driven transportation company. This is fully compliant with applicable transportation laws and accredited by the local government.”
Pada press release tersebut dengan jelas diungkapkan bahwa Uber adalah perusahaan teknologi. Uber sendiri tidak memiliki atau mengoperasikan kendaraan ataupun mempekerjakan pengemudi tetapi membantu untuk menghubungkan orang yang membutuhkan kendaraan dengan perusahaan penyewaan mobil yang mempunyai izin.
Tidak hanya pihak Uber, Hariyanto Ketua Umum Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama yang 800 anggotanya adalah pengendara yang menggunakan aplikasi Uber pun turut melakukan klarifikasi.
“Kami ingin klarifikasi soal penjebakan kemarin. Uber hanya perusahaan aplikasi. Kebetulan, pengemudinya memanfaatkan aplikasi tersebut untuk mendapatkan nilai lebih. Akibat dari penangkapan, Uber jadi sepi konsumen,” imbuh Hariyanto seperti yang dikutip dari Metrotvnews.com.
Meskipun sudah melakukan klarifikasi, persepsi publik terhadap identitas Uber Indonesia sudah terlanjur terbentuk dan sulit untuk diubah. Dalam benak publik, Uber Indonesia tetap dikenal sebagai perusahaan penyedia layanan taksi. Perbedaan persepsi tersebut juga terlihat dari LSM Indonesia Club, LSM ini melaporkan perusahaan jasa transportasi Uber Taxi ke Bareskrim Mabes Polri terkait izin yang mereka miliki. Mereka berpendapat bahwa Uber Taxi adalah aplikasi penyediaan layanan taksi yang yang tidak memiliki izin frekuensi.
Tidak berbeda dengan LSM Indonesia Club, Organda juga menolak kehadiran Uber di Indonesia dengan menilai bahwa Uber yang tidak memiliki badan hukum telah melanggar hukum sebagai operator angkutan umum.
“Dengan tegas sudah mengatur bahwa operator angkutan umum baik barang maupun orang haruslah berbadan hukum baik PT maupun koperasi,” kata Shafruhan seperti yang dikutip dari Kompas.com
Perbedaan persepsi tentu terlihat dari pernyataan masing-masing pihak. Permasalahan hukum ini kemudian berakibat pada penurunan pemesanan melalui aplikasi online tersebut. Bahkan keadaan seperti ini sudah termasuk dalam kategori krisis komunikasi. Perlu adanya tim khusus dari pihak Uber yang menangani kasus ini secara strategis dan sistematis.
Dalam menghadapi situasi seperti ini, yang perlu dilakukan sebagai langkah awal adalah penyamaan persepsi antara Uber dengan publik. Untuk menyamakan persepsi tentu Uber perlu menyusun pesan kunci yang akan dikomunikasikan kepada publik untuk selanjutnya pihak Uber perlu meningkatkan kehadirannya melalui berbagai media terkait dengan keberadaan dan identitas perusahaan tersebut. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya perlu adanya keseimbangan arus informasi mengenai kasus yang terjadi. Selain itu perlu adanya langkah simultan yang dilakukan oleh pihak Uber untuk mengembalikan kepercayaan publik. Tentunya langkah penanganan krisis komunikasi yang dilakukan perlu diselaraskan dengan langkah yang dilakukan oleh pihak manajemen Uber dalam menghadapi persoalan izin usaha. Dengan banyaknya berita yang didominasi oleh media yang bersumber dari pihak di luar Uber, pihak Uber perlu menyeimbangkan bobot pemberitaan di media massa dengan menyajikan data dan fakta dari sisi Uber Indonesia. Dengan demikian, publik akan menjadi lebih paham terhadap kasus yang terjadi dan bagaimana upaya yang dilakukan oleh Uber.
Bagaimana menurut anda, PRiders? Apa yang perlu dilakukan oleh Manajemen Uber Indonesia berikutnya dalam menghadapi persoalan ini?