
Mari kita luruskan sejenak, bahwa personal branding itu bukan lah artis, tokoh ataupun figur publik yang banyak muncul di media massa. Bahwa mereka membutuhkan teknik personal branding, itu sudah pasti. Tapi menjadikan mereka sebagai patokan sukses tidaknya personal brand kita, maka sama sekali tidak benar.
Personal branding itu soal membangun reputasi diri, sesuai dengan kompetensi dan passion kita. Dan berbeda dengan orang lain. Tiga kata terakhir, kompetensi, passion dan berbeda, itu lah yang harus digaris bawahi. Ada hubungannya dengan terkenal dan dikenal, itu pasti. Tapi tidak dalam arti semua orang kenal. Profesi-profesi seperti juru masak, bankir, jago bela diri, ulama, pastur tidak harus dikenal masyarakat luas, melainkan cukup dengan masyarakat sekeliling saja. Kita sering sebut mereka dengan istilah stakeholder.
Malah ada beberapa profesi yang justru menghindari publisitas. Ada publisitas yang menyebabkan profesi tertentu justru tidak bisa bekerja, seperti misalnya intel, researcher. Ada juga pengusaha pembangkit listrik yang memilih untuk tidak dikenal, sekalipun pembangkitnya terbesar se-Asia Tenggara. Sang pengusaha tidak mau, karena malah akan menyebabkan kedatangan anggota-anggota dewan, sehingga dia harus menemani. Tidak ada efeknya sama sekali kedatangan anggota dewan ke pembangkit listriknya, kecuali menambah banyak urusan seremonial. Salah seorang pengusaha UKM bisnisnya jadi terpuruk karena terlalu banyak mendapatkan publisitas. Tampilan yang banyak di media membuat dia diundang keliling Indonesia untuk berbagi resep. Akibatnya, bisnisnya yang barus berkembang malah tidak terurus.
Hati-hati dengan publisitas. Penulis beberapa kali menyarankan pada klien untuk menghindari publisitas, mengingat (untuk profesinya) tidak ada manfaatnya untuk pengembangan personal brand. Istilah sederhana, buat apa sohor kalau tekor.
Kembali pada prinsip dasar personal brand, yaitu bagaimana mengembangkan perbedaan (differensiasi) kompetensi kita menjadi Unique Selling Proposion; apakah keunikan dalam profesi dan diri kita yang mampu ‘dijual’ kepada orang lain. Kompetensi, Perbedaan (Diferensiasi) dan Passion. Kompetensi berkaitan dengan kemampuan dasar yang kita miliki, Diferensi adalah menciptakan kompetensi kita jadi tidak dimiliki oleh orang lain (atau orang lain tidak ada yang fokus kesana), dan Passiona adalah hasrat membuat kita bisa dengan senang hati melakukan sesuatu tanpa banyak keraguan.
Kalau dalam seni masak 3 hal diatas tadi adalah bumbu dasarnya. Kita bisa mengolahnya menjadi reputasi pribadi apapun, tinggal kita memiliki ketekunan atau tidak. Yup, ketekunan adalah nafasnya. Personal Branding itu gabungan antara ilmu sulap dan memasak. Diolah dengan tingkat kesukaan yang tinggi, disiplin dan sedikit improvisasi dalam mencampur bumbu, kemudian disajikan indah seperti sulapan. Boom! Seolah semuanya hadir secara tiba-tiba. Dan orang terkesima.
Seolah semuanya hadir secara instan, padahal kita menyiapkan dengan ketekunan tingkat tinggi dan kesenangan yang tidak pernah habis.
Selama kita tekun, dan mau bangun saat jatuh, maka semuanya akan mudah dalam Personal branding. Tinggal sebut, kita mau dianggap sebagai apa? Chef yang lucu, Ilmuwan kreatif, Karyawan penuh ide-ide cemerlang, atau anak muda yang penuh talenta? Semua ide-ide diatas sangat mungkin dikembangkan. Yang penting, kita sudah memiliki tujuan terlebih dahulu. Apa yang mau kita tawarkan pada publik.
Nah, sekarang saatnya kita membranding diri sendiri secara tepat.
Oleh: Silih Agung Wasesa
Sumber gambar: inc.com