
Sebagai makhluk sosial, kita pasti tergabung dalam berbagai kelompok sosial yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan perilaku kita sehari-hari. Sadar atau tidak sadar, kita kerap memperhatikan perilaku anggota kelompok lain untuk memahami apa saja yang pantas dan tidak pantas kita lakukan di setting sosial tertentu.
Contoh sederhananya, ketika kita bergabung dalam sebuah kelompok yang anggotanya kebanyakan penggemar musik rock, kita akan memperhatikan bagaimana teman-teman kita memilih lagu, konser serta cerita-cerita mereka tentang musisi rock yang dikagumi dan berbagai hal lainnya. Preferensi kita pada jenis musik sedikit banyak akan terpengaruh sehingga kita mulai menyenangi musik rock meskipun awalnya kita tidak menyukainya. Kita memang tidak akan begitu saja menyukai musik rock, tapi setidaknya sikap kita terhadap musik rock akan terpengaruh oleh kelompok ini sebagai proses penyesuaian menjadi anggota di dalamnya. Image musik rock yang ada di benak kita akan berubah mengikuti penyesuaian yang terjadi.
Keanggotaan kita akan menciptakan identitas sosial, rasa kekeluargaan, rasa saling memiliki dan rasa aman. Hal inilah yang membuat kita nyaman dan secara tak sadar melakukan banyak penyesuaian untuk bisa tetap bertahan menjadi anggota kelompok. Dinamika kelompok ini, jika diperhatikan, dapat menguntungkan brand. Michael R. Solomon, dalam bukunya “Consumer Behavior” menyatakan bahwa hasrat untuk menjadi ‘cocok’ atau hasrat untuk mengidentifikasikan diri dengan individu atau kelompok tertentu merupakan motivasi utama dalam proses konsumsi. Itu artinya, proses interaksi yang terjadi pada suatu kelompok akan memengaruhi pengambilan keputusan terkait dengan brand yang akan dikonsumsi. Proses ini terjadi melalui penyesuaian persepsi anggota dengan kelompoknya tentang suatu brand. Standard bagus atau tidaknya, keren atau tidaknya, dan menarik atau tidaknya sebuah produk bisa didefinisikan melalui interaksi-interaksi dalam kelompok tersebut.
Jika brand dapat memanfaatkan kelompok atau komunitas yang ada untuk membangun brand image, maka kelompok tersebut akan melakukan promosi secara suka rela pada anggota kelompoknya, bahkan pada orang-orang di luar kelompok. Promosi ini terjadi dari percakapan di dalam kelompok dan dari kesan positif yang tercipta saat anggota-anggota kelompok mengkonsumsi produk dari brand yang merangkulnya. Image positif yang berhasil dibangun brand kamera di sebuah komunitas fotografi tentunya akan memengaruhi preferensi anggota-anggota komunitas terhadap brand kamera yang ada. Diskusi mengenai jenis kamera dan brand kamera akan terjadi di dalam komunitas tersebut dan standard bagus serta kerennya kamera akan terbangun di dalamnya. Siapkah kita memutar otak untuk memanfaatkan dinamika kelompok sosial ini?
Mohammad Rieza Rakhman
Alumni Fakultas Psikologi UGM
Penyuka kajian psikologi sosial & perilaku konsumen
Referensi:
- Solomon, M. R. (2015). Consumer Behavior: Buying, Having and Being. London: Pearson.
- http://empathic.marketing
Sumber gambar: mdmorn.wordpress.com