Berkenalan dengan Digital Crisis Management
by , 23 May 2014
0
9-Crisis Management-Digital Crisis Management-Shutterstock Image

Di era digital, krisis dapat meluas hanya dalam hitungan 24 jam. Enam jam pertama, krisis mulai muncul di social media, 12 jam kemudian mulai diamplifikasi di social media toolslain, 18 jam kemudian sudah masuk ke dapur redaksi, dan 24 jam selanjutnya sudah dapat dibaca oleh masyarakat secara luas.

Potensi inilah yang menjadi salah satu fokus bahasan dalam The 22nd How to Handle Press With Well yang diselenggarakan oleh SPS, 12-14 Mei 2014 di Bali, yang diikuti oleh para praktisi PR di seluruh Indonesia. Salah satu pemateri Agung Laksanama, Wakil Ketua Perhumas kembali mengingatkan bahwa krisis bisa dimaknai sebagai “danger” atau “opportunity”. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Warren Buffett. It takes 20 years to build a reputation and only five minutes to ruin it.

Sebelum mengelola krisis, PRiders perlu memahami perbedaan antara isu dan krisis. Isu adalah peringatan pertama atau gosip yang muncul ketika terjadi hal-hal yang kontroversial, yang tidak membahayakan untuk organisasi / korporasi. Sehingga belum perlu direspon secara strategis. Sedangkan krisis adalah situasi yang sudah terjadi dan mengancam organisasi / korporasi dan sudah menyebar luas di media massa.

Dalam hal ini, manajemen krisis dipahami sebagai proses pengelolaan peristiwa tak terduga yang mengancam dan merugikan organisasi, stakeholder, atau masyarakat umum. Tujuan dari manajemen krisis ini terbagi menjadi tiga tujuan utama, “prevention”, “survival”, dan “successful outcomes”.

Untuk mengatasi krisis di era digital, beberapa kompetensi yang perlu dimiliki antara lain pemahaman tentang media sosial, kemampuan mapping influencer di social media, kemampuan mengelola relationship di social media, dan kemampuan berbicara secara online (yaitu twitter, blog, youtube). Pemahaman ini perlu menjadi standar di seluruh tim dalam pengelolaan krisis.

Tahapan awal jika terjadi krisis yang bisa dilakukan antara lain, menyiapkan diri dan mempunyai rencana. Untuk mengecek persiapan, PRiders bisa mengeceknya melalui serangkaian pertanyaan yang dapat menggambarkan seberapa buruk krisis yang terjadi. Misalnya hal terburuk apa yang akan terjadi pada organisasi PRiders, apa yang dapat disiapkan, kegiatan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasinya, apa risikonya, dan bagaimana proses komunikasi yang terjadi selama krisis.

Langkah kedua, jaga publikasi media melalui penyediaan informasi ter-update. Hal ini penting, karena media berharap akan adanya informasi yang cepat, menyeluruh, dan benar (fast, all, and truth). Hal ini menuntut PRiders untuk tidak lari, mudah diakses, dan mendasarkan informasi pada fakta, sementara seringkali yang terjadi adalah tidak adanya pemberian informasi tersebut. Untuk itu, PRiders perlu memilih spokesperson dari tingkatantop management secara pas yang sudah terbiasa berhadapan dengan media. Spokesperson ini harus pandai berbicaradan dapat diandalkan, karena dari dialah semua informasi didistribusikan. Jika memungkinkan jangan menggunakan spokesperson dari PR yang bukan bagian dari top management. Selanjutnya, jika situasi berkembang tidak sesuai dengan harapan, hindari pendekatan konfrontatif dan gunakan hak jawab PRiders. Maka ketika media menginginkan reportasi ekslusif, pilih dan fokuslah pada media yang jadi prioritas. <RN>